Hukuman Kebiri Kimia, Solusi Kekerasan Seksual Pada Anak?
- Sasha Yustisia
- Jul 9, 2021
- 2 min read
Di awal tahun 2021 masyarakat Indonesia diberikan ‘kado’ tahun baru oleh pemerintah. ‘Kado’ tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2020 yang baru saja disahkan oleh Presiden Joko Widodo. Peraturan ini mengatur tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia kepada pelaku kekerasan seksual, pencabulan maupun tindakan ancaman kekerasan seksual terhadap anak. Isi PP menyebutkan bahwa peraturan ini ditetapkan dalam rangka untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak.
Kebiri sendiri dulunya merupakan upaya untuk menghilangkan fungsi seksual baik dengan tindakan bedah. Mulanya tindakan kebiri ini dilakukan kepada hewan jantan agar populasi hewan tersebut terkontrol dan tidak agresif. Namun seiring perkembangan jaman kebiri ini juga dilakukan kepada manusia dengan berbagai alasan seperti alasan religius, hukuman, dan lain-lain. Menurut buku A Brief of Castration Second Edition disebutkan bahwa kebiri merupakan cara yang paling kuno, cepat, mujarab dan murah untuk mencegah kejahatan, penyakit, kekerasan dan kelahiran yang tidak diinginkan.
Seiring perkembangan jaman praktik kebiri ini dilakukan dengan cara kimia, yakni dengan memberikan zat kimia menurunkan hormon testosteron yang merupakan hormon seks jantan. Praktik ini bisa digunakan dalam bentuk obat maupun cairan yang disuntikan. Dengan cara ini praktik kebiri tidak perlu lagi mengubah atau menghilangkan bentuk alat kelamin.
Tetapi praktik kebiri kimia ini ditentang oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai eksekutor. Kebiri kimia ini disebut bertentangan dengan kode etik dokter. Kebiri dinilai sebagai praktik yang lebih dikategorikan menyakiti bukannya mengobati manusia. Bukan hanya IDI yang menentang praktik ini Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga tidak setuju praktik ini dijalankan. Menurut salah satu komisionernya Mochamad Choirul Anam menyebutkan bahwa hukuman kebiri melanggar hak asasi manusia. Bahkan, lembaga ini telah menolak mendukung aturan hukuman kebiri sejak Perppu No. 1/2016 mengenai Perubahan Kedua UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak dibentuk.
Sebagai Children Rangers kami juga menentang praktik ini, karena ini tidak benar-benar menyelesaikan masalah sampai ke akarnya. Mengapa begitu, karena kekerasan seksual adalah soal kuasa, bagaimana pelaku bisa menguasai korban sehingga bisa dipengaruhi. Kasus-kasus yang terjadi kebanyakan adalah hasrat pelaku untuk mendominasi korbannya. Dalam hal ini korbannya merupakan anak-anak yang sangat rentan sekali dipengaruhi oleh orang yang lebih dewasa. Pelaku menganggap bahwa ia lebih tua dari anak maka ia bisa melakukan apapun padanya. Pola pikir yang salah inilah yang seharusnya di berantas.
“Mengontrol hormon seksual [dengan kebiri kimia] tidaklah menyelesaikan problem kekerasan seksual. Kekerasan seksual terhadap anak terjadi karena relasi kuasa yang tidak setara,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi.
Sumber: